Hina si manusia gila, di buang buat-bulat telanjang di ranjang, satu perlayaran ke satu pelayaran, pelabuhan ke pelabuhan, bersaksikan hari dan berbulan-bulan, mencari teman hidup tidak sendirian, di buang daerah, tercampak hina ke pentas berdarah. Perjuangan kata propaganda bangsa, “hidup , mesti terus melangkah”, saksama kata keluarga. Pantang berundur, pasti tidak akan tersungkur akhirnya akur, tiada lagi dia di mata, di hati jiwa dan raga. Pergi, pergi sang permata mutiara, kau tidak lagi perlu toleh ke sini (lembah hina celaka), tomahan berkata-kata, babi kau babi, terus menerus aku terima dan nikmati kebodohan bagaimana di hina secelaka kata-kata manusia yang konon nya berakal sempurna, gila bangsat kata kesat budaya sesat. Tidak perlu kau toleh dan toreh ruang tapis udara dengan ungkapan lembut suara manja, jangan kau tikam lagi dengan duri mawar yang racunnya bisa membunuh sejuta saraf minda, (terkenang akan dikau). Pedih, tikaman mu sangsi buat aku sedih, jiwa ku di toreh seketika duri mu sang mawar liar, menjalar menerusi akar-akar yang menutupi tebing-tebing salut darah.
Merah, berdarah
No comments:
Post a Comment